Powered By Blogger

Kamis, 12 Januari 2012

Sastran dan Karya Sastra

SASTRA DAN KARYA SASTRA


 

A. Seputar Pengertian Sastra

Sebelum memasuki pembahasan karya sastra, simaklah dahulu pengertian tentang sastra. Ada banyak pendapat yang menjelaskan tentang sastra, tetapi semua pendapat itu tidak dapat memberikan batasan yang pasti tentang apa itu sastra. Hal ini disebabkan cakupan sastra memang sangat luas, sehingga batasan-batasannya sangat tidak jelas. Langkah yang baik untuk memahami pengertian tentang sastra adalah dengan cara menelusurinya melalui makna kata. Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang dibentuk dari akar kata sas yang artinya mengajarkan, mengarahkan, atau memberi petunjuk. Kata sas kemudian ditambah dengan kata –tra yang berarti alat atau sarana. Bila diartikan secara bebas, maka kata sastra berarti alat atau sarana untuk memberi petunjuk.

Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan, atau karangan. Segala tulisan atau karangan biasanya berbentuk buku, maka kata sastra juga dapat diartikan buku. Oleh karena itulah dalam kesusastraan lama, semua buku dianggap sebagai hasil sastra, baik buku itu berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, ekonomi, seni, undang-undang, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya kata sastra ini diberi imbuhan su- yang berarti baik atau indah. Jadi susastra dapat diartikan sebagai buku yang baik dan indah. Baik tentang isinya dan indah tentang bahasanya. Dari pengertian tentang sastra di atas dapat diartikan bahwa sebuah karya sastra atau karangan dapat dikatakan bernilai sastra bila karangan tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa yang indah atau bernilai estetik dan memuat kandungan moral yang positif, walaupun dalam karya sastra orang dewasa positif dan negatifnya kandungan moral tersebut bergantung pada penilaian pembacanya (apresiator).

Selain keindahan bahasa dan pesan yang mengandung pendidikan moral yang menjadi ciri khas karya sastra, terdapat ciri yang dapat diamati dalam sebuah karya sastra, terutama dalam penggunaan bahasa. Ciri-ciri tersebut antara lain: ragam bahasa yang digunakan dalam karya sastra tidak sepenuhnya bahasa baku. Hal ini disebabkan sastra sangat mementingkan perasaan; ide, dan keindahan. ragam bahasa atau pilihan katanya seringkali bermakna konotatif atau ambiguitas (memiliki banyak makna); kosakata yang digunakan dalam karya sastra disesuaikan dengan bahasa latar atau lingkungan dalam cerita yang berupa dialek, sosiolek suatu kelompok masyarakat, dalam karya sastra tergambar pengalaman hidup pengarangnya.

Jakob Sumardjo dan Saini K.M. menjelaskan: ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali (functionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic Values), dan adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of language). Secara bebas dapat diartikan bahwa isi atau cerita dalam karya sastra bukanlah kisah atau peristiwa nyata melainkan hanya merupakan khayalan, walaupun banyak karya sastra yang diilhami oleh peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Karya sastra mengandung nilai-nilai seni yang padat, hal ini dapat dilihat dari pelukisan pengarang terhadap sesuatu hal yang diceritakannya, dan alat untuk melukiskan keindahan itu adalah bahasa, dengan ragam dan gaya yang dimiliki si pengarang.


 

B. Beberapa Pandangan Tentang Sastra

Anda sudah kenal dengan istilah tersebut, bukan? Ya, tentu. Bahkan Anda sudah dapat membedakan antara karya sastra dan bukan karya sastra. Coba lihat dan baca contoh di bawah ini:

  1. Gaya merupakan cara pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tenentu bagi pembacanya. Wahana yang digunakan untuk memaparkan gagasan dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu pada lambang kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam untuk sistem tanda yang secara potensial dapat, digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkannya. (Aminudin:v)
  2. Sebagai seorang kepala sentral listrik, seharusnya aku benindak adil dan jujur, baik terhadap pegawai-pegawai bawahanku maupun terhadap negara. Pada saat-saat menguras kolam air tandon harian, semua pegawai diharuskan ikut bekerja membuang lumpur, Bahkan kami masih mengambil orang-orang luar dengan upah harian. Dan pegawai-pegawai yang sedang cuti tapi kebetulan tidak meninggalkan kampung, ikut pula bekerja. Untuk menguras kolam diperlukan tenaga sebanyak-banyaknya agar pekerjaan lekas sdesai. Bagi sentral listrik tenaga air, setiap meter kubik air sangatlah berharga. Dengan dikurasnya kolam yang menampung persediaan air untuk menjalankan turbin, maka air dibuang cuma-cuma dan ini berani menyia-nyiakan sejumlah besar uang bagi negara. (SL. Soeprijanto dalam Yassin:189)


 

3. Menanti hari esok


 

Aku relakan hari kemarin

    

Meniti lalu resah dan indah


 

Karena tekadku di dalam batin


 

Menanti esok, lega dan cerah


 

(Dali S. Naga dalam Waluyo:56)


 

Sudah selesai Anda baca? Bagus, jika sudah! Mana yang menurut Anda karya sastra? Nomor tiga? Ya, betul ltu puisi bukan? Apakah masih ada yang lain? ya, bagus! yang nomor dua juga karya sastra. Itu berupa prosa fiksi. Apa alasannya?

Dapat dilihat baik dari wujud visualnya (nomor 3), maupun cara benutumya. Walaupun untuk membedakan yang nomor satu dengan nomor dua, tadi Anda agak bingung. Wacana nomor dua memang mirip dengan tuturan bukan sastra, namun Anda juga sudah mampu membedakan, terlebih jika Anda baca dalam keadaan utuh.

Betul, bukan? Anda sudah mampu membedakan karya sastra dengan yang bukan karya sastra. Masih ragu? Tidak apa-apa. nanti akan kita pdajari bersama-sama. Tetapi saya yakin, paling tidak Anda pernah membaca karya sastra, baik berupa cerpen, puisi maupun drama. Ini akan menjadi bekal awal yang baik dalam memahami pengeniannya. Baiklah kita lihat pendapat di bawah ini!

"Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa" (Rusyana. 1982:5). Jika kita teliti definisi tersebut, terdapat dua pemyataan yang menjelaskan istilah sastra. Yang penama "mengungkapkan penghayatan", dan yang kedua "kegiatan kreatif". "Mengungkapkan penghayatan" menyiratkan bahwa sastra itu berawal dari penghayatan terhadap sesuatu yang kemudian diungkapkan dengan menggunakan bahasa. Penghayatan itu bisa terhadap benda-benda, atau hal lain termasuk karya sastra lain. Pada tahap tenentu penghayatan terhadap sesuatu itu perlu dungkapkan. Di dalam sastra, pengungkapan itu menggunakan bahasa.

"Mengungkapkan penghayatan" yang menghasilkan karya sastra, diperlukan kreativitas. Tanpa kreativitas tidak akan lahir karya seni. Mungkin lahir karya, tetapi bukan karya seni. Begitulah "sastra" dijelaskan dalam batasan di atas. Dengan ungkapan yang berbeda Huckman (1989:6) menggambarkan bahwa sastra adalah "Himpunan imajinasi tentang hidup yang diwujudkan dalam bentuk dan struktur bahasa". Selanjutnya ia, menambahkan bahwa sastra meliputi kondisi masyarakat yang berupa kehidupan dengan segala perasaan, pikiran, dan wawasannya.

Di dalam batasan yang dikemukakan Huckman di atas disebutkan tentang "himpunan imajinasi tentang hidup". Di sini jelas bahwa sastra berbicara tentang hidup, hidup yang dilukiskan di dalam sastra, telah diproses dengan bantuan imajinasi penulisnya. Jika demikian pembatasan tersebut, sebenarnya menunjukkan kesamaaan lebih-lebih dalam hal alat yang digunakan, yaitu bahasa. Oleh karena itu, Anda dapat saja memilih salah satu batasan dari keduanya, atau memilih batasan lain yang dikemukakan oleh
ahli lain. Selain itu dapat juga Anda membuat batasan berdasarkan kedua batasan tersebut. Umpamanya sebagai berikut. Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang berupa ungkapan penghayatan tentang hidup dengan menggunakan bahasa.

Anda sudah kenal dengan istilah apresiasi sastra ini, bukan? Ya! Paling tidak, Anda telah menemukannya dalam pelajaran bahasa Indonesia. Istilah apresiasi, digunakan dalam berbagai hal. Umpamanya dalam pembicaraan film, lukisan, dan perdagangan. Dalam hubungannya dengan perdagangan apresiasi berani kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu benambah. Di dalam pembelajaran ini, istilah apresiasi dimaksudkan, sebagai kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan. Mari kita lihat penjelasan tentang hal tersebut di bawah ini!


 

a. Pengenalan

Dengan perilaku yang sungguh-sungguh, pembaca, pendengar atau penonton akan mulai menemukan ciri-ciri umum yang tampak. Umpamanya
dia mengenal judul, pengarang, atau bentuk karya secara umum. Setelah proses pengenalan selesai, akan timbul keinginan untuk mengetahui lebih lanjut tentang karya tersebut lebih dalam lagi.


 

b. Pemahaman

Pemahaman dapat dicapai secara mudah oleh apresiator tenentu, namun dapat juga agak susah. Jika hal ini yang terjadi, biasanya perlu ditempuh upaya-upaya untuk mencapainya. Umpamanya dalam memahami puisi terlebih dahulu dicari penjelasan bagi kata-kata yang dianggap sulit: membubuhkan kata penghubung; membubuhkan tanda baca termasuk tanda untuk enjambemen; dan lain-lain. Dengan demikian permahaman dapat tercapai.


 

c. Penghayatan

Ada sementara orang yang berbeda pendapat tentang urutan "pemahaman" dan "penghayatan" ini. Ada yang beranggapan bahwa sebelum menghayati perlu memahami terlebih dahulu. Ada pula yang beranggapan bahwa "menghayati" terlebih dahulu baru kemudian "memahami". Sebenarnya kedua pendapat tersebut tidak berentangan, selama penjelasan dari keduanya jelas. Jadi bisa saja urutan itu berubah, baik dari pemahaman atau penghayatan terlebih dahulu. Yang penting dampaknya bagi apresiator.

Penghayatan dapat dilihat dari indikator yang dialami apresiator. Umpamanya, pada saat membaca (mungkin berulang-ulang), pembaca dapat merasakan sedih, gembira, atau apa saja karena rangsangan bacaan tersebut: seolah-olah melihat, dan atau mendengar sesuatu. Hal ini terjadi karena appresiator sudah terlibat dengan karya yang sedang diapresiasinya itu.


 

d. Penikmatan

Setelah apresiator menghayati karya sastra, ia akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada wilayah ini apresiator telah mampu merasakan secara lebih mendalam berbagai keindahan yang ditemui dalam karya sastra. Perasaan tersebut akan membantu menemukan berbagai nilai, baik yang bersifat sastrawi maupun nilai yang langsung berhubungan dengan kehidupan.    .

Sehubungan dengan kenikmatan yang lahir dari mengapresiasi sastra, Rusyana (1984:322) menyatakan bahwa "kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tenuang dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada membaca. "Selanjutnya ia menyatakan bahwa "kenikmatan itu timbul karena kita 1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain: 2) menambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan dengan lebih baik; kekaguman akan kemampuan sastrawan dalam mengerahkan segala alat yang ada pada medium seninya sehingga ia berhasil memperjelas, memadukan, dan memberikan makna terhadap pengalaman yang diolahnya; 3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikmatan estetik".

Butir-butir itu dapat juga dijadikan indikator wilayah penikmatan. Kita dapat benanya kepada diri sendiri, umpamanya sebagai berikut: 1) sudahkah menemukan pengalaman pengarang? Jika jawabnya ya, coba gambarkan bagaimana proses penemuan pengalaman tersebut! Mungkin Anda tersentuh dengan penyajian latar. Umpamanya pada saat membaca roman "Atheis". Anda (yang kenal dengan Bandung) merasa nikmat ketika pengarang mdukiskan kota Bandung pada masa itu dengan delman, gadis-gadis berkebaya dan berpayung, sena latar yang sejuk dan rimbun dengan pepohonan. Dari rasa nikmat ini, dapat membuat Anda merasa kagum terhadap penulisnya.

Selain rasa kagum, dapat juga membuat Anda merasa terlepas dari beban, merasa sembuh, merasa ada teman, dan lain-lain karena nilai-nilai yang Anda temukan sebagai hasil penikmatan tersebut. Begitulah antara lain indikator penikmatan terhadap karya sastra itu.


 

e. Penerapan

Penerapan merupakan wujud perubahan sikap yang timbul sebagai temuan nilai. Apresiator yang telah merasakan kenikmatan dari karya sastra, memanfaatkan temuan tersebut dalam wujud nyata perubahan sikap dalam kehidupan. Hal ini terjadi karena apresiator merasa memperoleh manfaat langsung dari bacaan tersebut. Sebagai contoh pembaca roman Atheis, menemukan betapa goyahnya seorang pemeluk agama yang tidak disenai penguasaan ilmu. Dari temuan itu pembaca tersebut menemukan manfaat bagi dirinya. Ia kemudian berusaha mdengkapkan agamanya dengan ilmu.

Itulah proses yang semestinya terjadi dalam apresiasi sastra. Sehubungan dengan proses tersebut, Sumarjo (1994;174-175), Rusyana (1984:322-323), menyatakan dalam bahasa yang hampir senada. Sumarjo menyebut dengan istilah langkah-langkah mengapresiasi, sedangkan Yus Rusyana menyebutnya dengan istilah tingkat-tingkat mengapresiasi, dengan rincian yang relatif sama.

Mari kita lihat langkah atau tingkatan tersebut! Tingkat penama apresiasi terjadi apabila seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya. Ia terlibat secara intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya. Tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat. Tingkat
ketiga terjadi apabila pembaca telah mampu menemukan ada tidaknya hubungan antara karya yang dibacanya dengan kehidupan.

Tingkat atau langkah ini pun dapat dijadikan indikator sudah atau belumnya kita memasuki kegiaaan apresiasi sastra. Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa mengapresiasi sastra bukan sekedar membaca saja, melainkan memang harus secara sungguh-sungguh. Pada tingkat penama saja mungkin kita perlu membaca berulang-ulang untuk sampai pada keterlibatan seperti itu. Pada tingkat kedua kita perlu melengkapi pengetahuan tentang kaidah-kaidah sastra. Dengan demikian kita dapat memperoleh kenikmatan atau kepuasan yang lebih meningkat dibanding tingkat sebelumnya. Dari rasa nikmat yang tinggi itu akan membawa kita pada tahap penemuan nilai, yang berhubungan dengan kehidupan nyata. Begitulah tentang apresiasi.

Berdasarkan uraian tentang sastra dan apresiasi sastra di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pengajaran apresiasi sastra adalah suatu proses interaksi antara guru dan murid tentang sastra. Di dalam interaksi tersebut terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap karya sastra hingga akhirnya siswa mampu menerapkan temuannya di dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajar apresiasi sastra memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya.

Berkaitan dengan pemerolehan manfaat, Rahmanto (1988: l6) menyatakan bahwa "pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya melihat empat manfaat". Manfaat tersebut adalah 1) membantu keterampilan berhahasa; 2) meningkatkan pengetahuan budaya; 3) mengembangkan cipta dan rasa; dan 4) menunjang pembentukan watak. Di dalam kehidupan sehari-hari mungkin Anda pernah ditanya atau dihadapkan pada orang yang berkeyakinan bahwa membaca sastra hanyalah pekerjaan orang pengangguran, atau dengan kata lain, membaca sastra hanyalah untuk membuang-buang waktu saja. Coba gambarkan bagaimana langkah Anda menjelaskan kepada orang tersebut bahwa pendapatnya keliru.

Dalam memberikan jawaban untuk penanyaan tersebut, sudah tentu tidak hanya cukup dijawab dengan ucapan "ah, itu tidak benar!" Jawaban seperti itu tidak akan mampu meyakinkan orang lain. Jadi coba jawab dengan cara membeberkan tingkatan apresiasi besena proses dan hasil yang dicapai, dengan contoh konkrit dari suatu bacaan. Bisa Anda lakukan ini, bukan? Bagus jika sudah bisa! Jika belum, silahkan baca kembali tingkatan dalam mengapresiasi dan proses yang telah dikemukakan di atas tadi, dan bacalah sebuah cerpen atau novel yang baik. Mungkin dengan cara ini akan dapat membantu Anda memberikan jawaban yang benar-benar meyakinkan.

C. Jenis-jenis Karya Sastra

Jenis-jenis sastra disebut jenre (genre) sastra. Sastra dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, sastra imajinatif, dan sastra non imajinatif. Imajinasi berasal dari kata imnaginntieft yang berarti angan-angan atau khayal. Jadi, karya sastra imajinatif adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan sifat khayali pengarang, sehingga cerita dalam karya sastra imajinatif bukanlah suatu kejadian sebenarnya. Sedangkan karya sastra non- imajinatif merupakan kebalikan karya sastra imajinatif, sebagian ahli berpendapat bahwa sastra non imajinatif bukanlah karya sastra. Dengan demikian, pada bagian ini tidak dibahas sastra non-imajinatif lebih lanjut. Karya sastra imajinatif terdiri atas tiga jenis: prosa, puisi, dan drama. Secara singkat akan dijelaskan perbedaan antara ketiga jenis karya sastra tersebut.

  1. Prosa

    Prosa adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan kalimat-kalimat yang disusun susul-menyusul. Kalimat-kalimat yang disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi paragraf, paragraf membentuk ide atau bagian-bagian, dan seterusnya.

  2. Puisi

    Puisi adalah karya sastra yang ditulis dengan bentuk larik-larik dan bait.

  3. Drama

    Drama adalah karya sastra yang ditulis dengan bahasa dalam bentuk dialog.


 

Perbedaan karya sastra yang satu ini dengan karya sastra yang lain (puisi dan prosa) terletak pada tujuan penulisan naskah. Naskah drama ditulis dengan tujuan utamanya untuk dipertunjukkan, bukan untuk dibaca dan dihayati seperti pada karya sastra prosa dan puisi. Perlu Anda ingat bahwa ciri-ciri ketiga karya sastra ini pun tidak mutlak, artinya ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum, karena ada karya sastra prosa yang ditulis dengan bentuk larik-larik, sebaliknya ada pula karya sastra puisi yang ditulis dengan bentuk kalimat yang bersusun seperti layaknya prosa.

Selain penggolongan karya sastra seperti di atas, karya-karya sastra dapat dikelompokkan lagi menjadi karya sastra orang dewasa dan karya sastra anak-anak. Maksudnya, ada pengarang yang menulis karya sastra untuk orang dewasa, dan ada yang menulis karya sastra khusus anak-anak. Karya sastra anak-anak memiliki perbedaan dengan karya sastra orang dewasa. Di samping isi, masih terdapat aspek-aspek lain yang membedakannya dengan karya sastra orang dewasa, yaitu tingkat keterbacaan dan tingkat kesesuaian. Ha1 inilah yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan pengajaran apresiasi sastra.


 

a. Kriteria Keterbacaan

Keterbacaan ialah mudah tidaknya suatu bacaan untuk dicerna, dihayati, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Berdasarkan kriteria tersebut, maka karya sastra anak-anak hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut.

  1. Kejelasan Bahasa

Dalam hal ini karya sastra anak-anak harus menggunakan bahasa yang sederhana. Kalimat-kalimatnya tidak panjang-panjang dan tidak rumit. Kata yang digunakan adalah kata-kata yang bermakna lugas artinya mudah dipahami. Dengan kejelasan bahasa, maka unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra akan mudah ditemukan oleh pembacanya yaitu anak-anak.

  1. Kejelasan Tema

Tema pada karya sastra anak-anak hendaknya terbuka, artinya tema itu bisa langsung ditemukan oleh pembaca (anak-anak). Dengan kata lain, pada karya sastra anak-anak, tema tidak disajikan secara terselubung.

  1. Kesederhanaan Plot

Karya sastra anak-anak yang dipilih hendaknya karya sastra yang memiliki plot (jalan cerita) maju. Hal ini terdapat pada karya sastra prosa dan drama anak-anak.

  1. Kejelasan Perwatakan

Karya sastra anak-anak yang baik untuk dipilih adalah karya sastra yang perwatakannya digambarkan secara sederhana. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat dengan mudah menangkap sosok tokoh-tokoh cerita (prosa atau drama).

  1. Kesederhanaan Latar

Latar dalam karya sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggal anak. Hal ini untuk mempermudah pemahaman terhadap cerita. Suasana yang akrab dengan lingkungan anak akan menjembatani imajinasi anak, walaupun tidak berarti tidak boleh memperkenalkan latar yang berbeda.

  1. Kejelasan Pusat Pengisahan

Karya sastra anak-anak memiliki pusat pengisahan yang jelas, artinya cerita tidak terlalu sering berganti fokus. Bila hal ini terdapat dalam karya sastra anak-anak (prosa atau drama) akan menimbulkan kesulitan pada anak-anak dalam mengikuti jalan cerita.

b. Kreteria Kesesuaian

Dari segi isi, karya sastra anak harus memperhatikan kesesuaian dengan perkembangan psikologi dan moral anak-anak. Sesuai dengan tingkat perkembangan tersebut, maka terdapat berbagai tema cerita anak-anak yang harus diperhatikan dan disesuaikan dengan tingkat usia siswa dalam memilih tema. Pada usia 6 sampai 9 tahun anak-anak menyukai cerita sederhana dan kehidupan sehari-hari sampai dengan dongeng-dongeng hewan, mereka juga menyukai cerita-cerita lucu. Sedang pada 10 - 12 tahun, anak-anak mulai menyukai cerita kehidupan kekeluargaan yang dilukiskan secara realistis, cerita-cerita fantastis, dan cerita petualangan. Demikianlah kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih bahan untuk diapresiasi.


 

D. Apresiasi Sastra

Apresiasi berasal dari bahasa Latin aprociate yang berarti memindahkan dan menghargai. Di dalam bahasa Inggris apreciation berarti penghargaan (lihat Collins atau Webster/Collegite) Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar atau membaca istilah apresiasi ataupun mengapresiasi diucapkan atau dituliskan orang dalam berbagai kesempatan. Misalnya saja kita sedang membaca surat kabar atau majalah. Lalu, kita menemukan judul tulisan dalam majalah atau surat kabar itu: Apresiasi Masyarakat pada Karya Anak Makin meningkat atau apresiasi terhadap rupiah makin merosot ataupun bagaimana mengapresiasi karya seni dan sebagainya.

Pengertian sebuah istilah atau kata tertentu, termasuk kata apresiasi, dapat saja kita langsung membaca kamus. Mudah-mudahan di rumah Anda tersedia kamus, baik yang berukuran kecil maupun besar, baik kamus ekabahasa maupun kamus dwibahasa. Untuk itu marilah kita buka bersama-sama Kamus Besar Bahasa Indonesia, lalu kita cari lema apresiasi. Dalam kamus itu lema apresiasi berarti: kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan udaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah (KBBI, 1988: 46).

Batasan kata apresiasi dalam KBBI itu tanpa diberi contoh pemakaiannya dalam kalimat. Bagi Anda yang kurang berlatih membaca dan menangkap makna sesuatu yang dibacanya, tentu terasa masih abstrak atau masih berbentuk konsep. Agar lebih jelasnya, marilah kita telaah pengertian kata apresiasi dalam kamus tersebut. Arti pertama kata apresiasi itu bertalian dengan kesadaran (orang atau masyarakat) terhadap nilai-nilai seni dan budaya. Setiap karya seni dan budaya itu tentu memiliki nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan, baik nilai keindahan, nilai religius, nilai pendidikan, nilai hiburan, maupun nilai moral. Semua nilai yang terkandung dalam karya seni dan budaya membimbing manusia ke arah kehidupan yang lebih beradab, lebih baik, dan lebih manusiawi. Kesadaran orang terhadap nilai-nilai dalam karya seni dan budaya seperti itulah yang disebut apresiasi.

Arti kedua kata apresiasi bertalian dengan penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu hal atau masalah. Penilaian atau penghargaan di sini tidak semata-mata diukur dengan nilai uang. Menghargai sesuatu hal atau masalah berarti pula kita ini memberi perhatian, memberi penghormatan, menjunjung tinggi sesuatu itu, mengindahkan hal yang diamanatkan, dan kalau perlu melaksanakan sesuatu hal atau masalah yang terkandung di dalamnya. Ada sesuatu nilai yang terdapat dalam karya (seni atau budaya) yang perlu digali, lalu hasilnya kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Arti ketiga kata apresiasi bertalian dengan dunia ekonomi harga barang dan nilai suatu mata uang ditentukan oleh pasaran. Jika permintaan barang dan mata uang tertentu di pasaran sedang besar atau meningkat, maka nilai barang atau mata uang itu semakin tinggi dan meningkat pula. Sebaliknya, jika permintaan barang dan mata uang tertentu lesu, lemah, atau turun drastis, maka apresiasi terhadap barang atau mata uang itu tentu merosot juga. Sehubungan dengan materi pembelajaran sastra ini, pengertian apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian pertama dan kedua, yaitu (I) kesadaran kita terhadap nilai-nilai seni dan budaya (sastra), dan (2) penilaian atau penghargaan kita terhadap sesuatu (sastra).

Panuti Sudjiman (1990: 9) dalam buku Kamus Istilah Sastra memberi batasan apresiasi sastra adalah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman. Sementara itu, Abdul Rozak Zaidan et al (1994: 35) dalam buku Kamus Istilah Sastra mendefinisikan apresiasi sastra adalah penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu.

Rumusan yang lebih khusus lagi tentang apresiasi sastra diberikan oleh S. Effendi (1982 : 7) dalam buku Bimbingan Apresiasi Puisi, yaitu apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Dari beberapa pakar sastra itu kita telah menemukan pengertian apresiasi sastra. Kemudian berikutnya, kita tinggal menghubungkan antara pengertian apresiasi sastra dengan pengertian sastra, seperti yang telah kita pelajari sebelumnya . Rumusan apresiasi sastra berdasarkan pendapat ketiga pakar tersebut dapat kita paparkan sebagai berikut.

Apresiasi sastra adalah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman. Apresiasi sastra adalah penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Marilah kita pahami bersama ketiga batasan tentang pengertian apresiasi sastra di atas. Seseorang memberi penghargaan terhadap sastra setelah terlebih dahulu memahami, baik bentuk maupun isi, dari sastra itu sendiri. Jadi, penghargaan atau penilaian terhadap sastra itu dilakukan setelah terlebih dahulu membaca, menghayati, dan memahami isi sastra. Seseorang memberi penghargaan terhadap sastra dari hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan terhadap sastra. Hasil pengenalan terhadap sastra itu didukung oleh kepekaan batin pembaca terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, apresiasi sastra itu diberikan setelah seseorang tersebut mengenal, memahami, menghayati, menikmati, dan menafsirkan sastra.

Seseorang yang bergaul dengan sungguh-sungguh terhadap sastra itu sudah dapat disebut memberi apresiasi terhadap sastra. Terlebih, pergaulannya dengan sastra itu kemudian dapat menumbuhkan pengertian, memberi penghargaan, menimbulkan kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Jadi, apresiasi sastra itu dilakukan setelah seseorang bergaul dengan sungguh-sungguh terhadap sastra hingga menimbulkan berbagai penilaian. Pengertian sastra dalam apresiasi sastra di sini adalah sesuatu yang dijadikan pokok pembicaraan atau objek materi yang dibahas. Sebagaimana kita ketahui bahwa sastra adalah karya sastra yang dikonsumsi oleh anak-anak. Seseorang melakukan apresiasi terhadap sastra setelah seseorang itu melakukan kegiatan, misalnya membaca, mendengarkan, mendeklamasikan, menulis ulang, dan sebagainya. Berikut dibicarakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka apresiasi sastra.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi adalah kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya yang disertai dengan penghargaan dan penilaian kepada seni itu sendiri. Apresiasi dapat dilakukan terhadap suatu karya seni, baik itu bahasa (sastra ), seni musik, seni lukis, seni tari, maupun seni-seni yang lain. Sesuai dengan pembahasan pada bagian ini, yaitu Apresiasi Karya Sastra, maka Anda perlu memahami secara mendalam pengertian apresiasi sastra. Untuk itu, agar pemahaman anda lebih mendalam, perhatikanlah pendapat para ahli tentang pengertian apresiasi sastra di bawah ini :

  1. S. Efendi mengatakan bahwa: "Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra".
  2. Sopyan Zakaria mengatakan bahwa " Apresiasi sastra ialah kegiatan memahami citra sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan pengertian dan penghargaan yang baik terhadapnya".
  3. Panuti Sujiman menyebutkan bahwa " Apresiasi sastra adalah penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada pemahaman"
  4. Karna Yudibrata dalam salah satu makalahnya menyebutkan bahwa : " Apresiasi adalah penikmatan dan pemuasan terhadap sebuah hasil sastra, berdasarkan pengenalan, pengalaman, penalaran, dan pengert6ian yang sifatnya teoritis".
  5. Yus Rusyana menyebutkan " Apresiasi sastra dapat diterangkan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan kegairahan padanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya". (1992:277)


 

Setelah Anda memahami uraian di atas, bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan apresiasi, apa saja yang diperlukan dalam mengapresiasi? Ya jawabannya adalah selain menggunakan rasa, mengapresiasi juga memerlukan pikiran atau rasio yang dibantu oleh pengetahuan dan pengalaman tentang sastra dan kehidupan itu sendiri. Keyakinan Anda tentang hal ini akan lebih kuat setelah mengikuti penjelasan tentang kegiatan apresiasi dan tingkatan-tingkatan apresiasi berikut ini.


 

E. Kegiatan Apresiasi Sastra

Ditinjau dari sudut keterlibatan apresiator dalam melakukan kegiatan apresiasi terhadap karya sastra, maka kegiatan apresiasi dapat diklasifikasi menjadi 1) kegiatan apresiasi reseptif, dan 2) kegiatan apresiasi produktif. Kata reseptif dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti 1 mau (dapat) menerima, 2. terbuka dan tanggap terhadap pendapat, saran, anjuran orang lain, 3. bersifat menerima. Dalam bahasa Inggris receptive berarti sudi menerima atau mudah menerima. Berdasarkan pengertian tersebut, apresiasi reseptif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan apresiasi yang dilakukan terhadap karya sastra orang lain. Sebaliknya kegiatan apresiasi produktif merupakan kegiatan apresiasi di mana apresiator lebih agresif dan proaktif dalam menggauli karya sastra. Mereka bukan hanya menerima, tetapi lebih intens menggauli dengan cara menulis kritik sastra, menulis karya atau terlibat langsung sebagai seorang aktor dalam sebuah karya sastra.

Saudara, dalam melaksanakan apresiasi sastra itu kita dapat melakukan beberapa kegiatan, antara lain, kegiatan apresiasi langsung, kegiatan apresiasi tidak langsung, pendokumentasian, dan kegiatan kreatif. Semua kegiatan itu dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra. Di sisi lain, Alam Sutawijaya dan Mien Rumini menjelaskan, kegiatan apresiasi dapat dikelompokkan menjadi dua:

  1. kegiatan apresiasi langsung
  2. kegiatan apresiasi tidak langsung.


 

1. Kegiatan Apresiasi Langsung

Kegiatan apresiasi langsung adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk memperoleh nilai kenikmatan dan kehikmatan dari karya sastra yang diapresiasi. Nilai kenikmatan sastra dapat memberi sesuatu yang menyenangkan, menghibur, dan memberi kepuasan. Nilai kehikmatan sastra dapat memberi pelajaran, amanat, dan nasihat tentang kehidupan. Kegiatan apresiasi langsung meliputi kegiatan sebagai berikut.

  • membaca sastra,
  • mendengarkan sastra ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan
  • menonton pertunjukan sastra ketika karya sastra itu dipentaskan.

Membaca, mendengarkan, dan menonton merupakan cara paling utama , dalam kegiatan apresiasi sastra. Ketiga kegiatan itu dilakukan dengan sadar untuk memperoleh nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.

a. Kegiatan Membaca Sastra

Dalam kegiatan membaca sastra ini dilakukan secara sungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu yang ada dalam karya sastra yang dibacanya. Sesuatu itu berupa nilai-nilai yang dapat diambil manfaatnya bagi kehidupan. Nilai-nilai itu memberikan arahan tentang perilaku, pandangan hidup, dan cara menyikapi sesuatu dalam menghadapi kehidupan.

Berikut ini ada fragmen cerita pendek Kepergian karya Lukman Ali yang sedang dibaca oleh seseorang. Ia membaca fragmen cerita pendek ini dengan sungguh-sungguh, menikmatinya secara baik, lalu memberi penghargaan yang layak kepada cerpen itu dengan memberi komentar atau tanggapannya.


 

KEPERGIAN

Lukman Ali

Ketika kami sedang asyiknya membuat gambar sesuka hati, pada suatu hari dalam bulan Februari 1941, tiba-tiba saja muncul di pintu masuk kelas kami kemenakanku si Ilas, anak perempuan dari kakakku yang tertua, dengan mata merah tanda baru menangis. Ia memakai tengkuluk kecil. Umurnya dua tahun lebih muda dariku. Dan dia baru duduk di kelas satu Sekolah Negeri di kampungku.

Dengan tidak meminta permisi terlebih dulu kepada Bapak yang waktu itu sedang duduk di mejanya menulis, si Ilas terus saja masuk ke dalam kelas dan menuju ke meja tempatku duduk yang terletak di depan sekali. Seluruh kelas dengan heran memandang kepadanya.

"Mak Cik, kakak menyuruh Mak Cik pulang sekarang juga! Hamba disuruhnya menjemput Mak Cik," kata si Ilas kepadaku agak gugup. Suaranya agak lain dari biasa kudengar. Menyedih.

"Mengapa?" kutanya.

Aku berhenti menggambar.

"Sakitnya bertambah keras juga," jawab si Ilas. Dan ujung tengkuluknya dihapuskannya ke matanya yang sudah mulai pula keluar airnya.

Sekaligus ingatanku terpusat kepada Ibu yang sedang sakit di rumah. Air mata si Ilas sangat mendorong kesedihanku. Dan dengan tidak kusadari memanas pula kelopak bawah mataku seperti biasa pada hari-hari selama Ibu sakit. Aku memandang kepada Bapakku yang sementara itu sudah berdiri dekat si Ilas.

"Pulanglah lekas!" katanya kepada kami berdua. "Dan hati-hatilah kalian di jalan!" Kami pulang cepat-cepat.

"Orang banyak sekarang di rumah, Mak Cik!" kata si Ilas padaku. "Segala sanak-saudara kita ada. Banyak yang menangis."

"Dan, Ibu bagaimana?"

"Seperti itu saja. Sebentar balik ke kiri, sebentar balik ke kanan, sambil mengeluhngeluh juga. Mak Cik acap benar disebutnya. Dan disuruhnya hamba menjemput Mak Cik. Mak Dang dan Mak Ngah sudah ada di rumah."

Ah, Ibu. Beliau sudah hampir sebulan lamanya bergulat dengan penyakiMya di tempat tidur. Asalnya biasa saja. Kehujanan sekembali dari menyiangi sawah kami. Dan ini menyebabkan beliau demam. Badannya yang sudah kurus itu, karena banyak bekerja, tidak kuasa menahan serangan demam ini. Sampai berlarut-larut.

Ibu memang banyak bekerja untuk kami anak-anaknya. Ke sawah, berjualan di pasar, dan lainnya. Bapakku sendiri sudah lama tidak di rumah kami lagi. Beliau sudah beristeri lagi di tempat lain.

Mula-mula Ibu hanya diobati dengan obat kampung saja, sebagaimana yang dikehendakinya. Menurut dukun tertegur "hantu jahat" dekat tebing pendakian tidak jauh sebelah rumah kami sewaktu pulang dari sawah. Tapi obat dukun itu tidak dapat menolong. Ibuku makin keras sakitnya. Tak makan-makan. Dan badannya panas terus. Kurusnya makin menyata. Kami semua sangat bersedih hati dengan sakitnya Ibu ini, pemelihara kami, aku dan kakak-kakakku. Lebih-lebih bagiku, yang sejak lahir memang tak begitu banyak merasa atau menerima mesra sayang dari Bapakku seperti kakak-kakakku, karena beliau tidak pulang-pulang lagi ke rumah Ibuku, sangatlah terasa kesedihan ini.

Dalam diri Ibu berkumpul dua kasih sayang yang menjadi satu, kasih Ibu dan kasih Bapak yang diganti oleh Ibu. Dan kini, ia yang menjadi sumber dan tumpuan kasihku ini, sakit. Setiap hari aku tak dapat menahan air mataku bila melihat Ibu sebentar-sebentar membalik-balik badan sambil mengeluh jua tidak hentinya.

Dan sampailah dua minggu sakit Ibu.

Bapakku sekali-sekali datang juga ke rumah kami menengok, yang sejak semula menginginkan Ibuku berobat ke dokter saja, di kota Padang. Setelah melihat Ibu tidak juga sembuh, lalu Bapak mendatangkan dokter. Ibuku diperiksa darahnya. Kemudian diberi obat berupa pil dan obat minum. Tapi entah hagaimana obat-obat ini juga tidak dapat menolong.

Kasihan betul Ibu. Makan tak mau. Paling-paling hanya sesendok dua bubur yang dipaksa-paksakan. Tidur gelisah. Mengigau dan mengeluh menyayukan hati. Ibu makin tersiksa betul oleh penyakitnya itu. Tulang-tulangnya makin lama makin bertonjolan keluar. Dan kulitnya makin mengerut. Bila kuperhatikan semuanya ini lalu datanglah mendesak dalam kepalaku suatu ketakutan yang belum pernah kurasai sebelumnya. "Ibuku yang sangat sayang kepada kami, meninggal!" Dan dalam beberapa hari terakhir ini bayangan itu makin mengerikan.

"Naah, ini si Lukman sudah datang! Mengapa kau selambat itu pulang?" kata seorang ibu tetangga kepadaku setibanya aku di halaman rumah. Ibu itu sudah lama rupanya berada di rumah kami.

"Hamba sudah cepat-cepat berjalan," kujawab sambil naik jenjang.

"Sudah jelas Ibu awak sakit parah, kau pergi juga ke sekolah," kata seorang perempuan yang lain.

Aku tak menjawab lagi, tapi terus masuk ke dalam rumah menuju ke tempat Ibuku terguling. Di dalam rumah kulihat orang bermuram muka semua. Bahkan orang-orang perempuan sama menangis. Mamak-mamakku dan saudara-saudara Ibu yang laki-laki hadir semua waktu itu. Mereka duduk dengan kecemasan di sekitar Ibuku. Aku lalu duduk dekat uncuku dekat kepala Ibu. Melihat aku datang, Mak Haji, mamakku yang tertua, memegang tangan Ibu sambil mengatakan:

"Yah, Yah, ini si Lukman yang kau tuntut dari tadi sudah tiba".

Kulihat Ibu mencoba membalik badannya angin melihat kepadaku. Dan aku berpindah duduk ke hadapannya.

"Ini hamba, Bu!" kupegang pula tangan itu dan kupandang muka beliau yang bermata cekung itu. Sayu. Dan tak berdarah.

"Man!" kata Ibu pelan hampir berbisik. "Ya, Bu?" Air mataku mulai menitik. "Mengapa, lambat betul, kau pulang? (Terputus-putus dan terengah-engah). Untung kau, masih dapat, melihat Ibu!"

Tak tentu yang akan kujawab. Dadaku mulai menyesak.

"Duduklah di sini Nak, dekat Ibu!" sambung Ibu sambil meletakkan telapak tangan kirinya dengan pelan ketiadaan daya ke atas kasur tepat di muka perutnya. Kuturuti lambat-lambat. Dan aku tetap memandang ke wajah beliau. Tiba-tiba tulang-tulang berbalut kulit kisut itu mencoba memelukku dengan kekuatan terakhir. Aku segera mendekapkan badanku ke pangkuannya. Aku menangis tertahan-tahan.

"Nak!" "Apa Bu?" "Kalau Ibu mati, Nak, elok-elok saja, lakumu ya?" (Terputus-putus lagi). "Ya, Bu!"

"Jangan suka... berkelahi dengan... kemenakanmu!" "Tidak, Bu!"

"Nak, (bernapas beberapa kali dulu) mengaji, ya?" "Ya, Bu!"

Kemudian pelukannya mengendur. Tangan kiri Ibu meluncur pelan dari punggungku dan tangannya terkulai di pinggir kasur. Segera kupegang keduanya dan air mataku menetes ke atasnya. Ibu kelelahan sehabis berkata tadi. Ia mencoba menelentangkan dirinya. Tangan kecilku ikut membantu. Beliau terengah-engah lagi.

"Sudah..., sudah puas aku, Tuan Haji," kata Ibu kepada Mak Haji. "Lepaslah aku! Lepaslah! Sudah lain benar, rasanya, badanku ini! Lain benar!"

"Ingat sajalah terus kepada Tuhan, Yah. Sebutlah namanya terus! Takbirlah! (jawab Mak Haji) Allahu Akbar!"

Ibu diam. Hanya dadanya turun naik.

"Sebutlah, Yah, Allahu Akbar!"

"Allahu.... (tak sampai suara Ibu). !

"Allahu Akbar! (Mak Haji mengulangi).

"Allah.... bar!"

"Laa ilaha illallah!"

"La ilah.... illallah!"

(Dikutip dengan beberapa perubahan dari Lukman Ali. 1998. Pekan Selasa. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, halaman 29-32)

Setelah membaca cerita pendek Kepergian karya Lukman Ali tersebut, seseorang itu ikut merasa pilu, sedih, dan haru. Ada seorang anak lelaki baru kelas tiga sekolah dasar harus menghadapi kenyataan yang menyedihkan. Ibunya sakit keras. Ibu yang menjadi tumpuan harapan dan kasih sayang tokoh Aku itu kini berbaring sakit tidak berdaya.

Ayahnya sudah beristeri lagi dan tidak pernah pulang ke rumahnya. Apalagi jika membayangkan kematian ibunya, tokoh Aku sering merasa sedih dan ngeri menghadapi bayangan hidup di masa depan.

Sebelum ibunya meninggal dunia, tokoh Aku yang biasa dipanggil Mak Cik oleh tokoh Ilas yang baru kelas satu sekolah dasar itu, mendapatkan nasihat dari ibunya. Isi nasihat ibunya kepada tokoh Aku itu adalah: elok-elok saja perilakumu, jangan suka berkelahi dengan kemenakan, dan mengaji sebagai bekal hidup di kemudian hari. Petuah itu merupakan wujud tanggung jawab seorang ibu memberi pendidikan kepada anaknya. Sebelum sang ibu itu meninggalkan anaknya di dunia, ia masih berkesempatan memberi pendidikan kepada anaknya. Bekal hidup di masa depan. Ibu ini merupakan seorang yang baik dan bertanggung jawab.

Kegiatan apresiasikah yang dilakukan pembaca tersebut? Jawabnya: ya. Sebab ia telah melakukan pergaulan dengan sungguh-sungguh terhadap cerita pendek tersebut. Ia mengikuti alur cerita dengan baik. Ia pun menikmati suasana pengisahan dengan haru dalam cerita itu. Pembaca itu juga menghadapi pengalaman pahit yang harus dirasakan oleh tokoh Aku yang baru berusia sepuluh tahun, kelas tiga sekolah dasar. Kemudian ia memberikan penghargaan atau penilaian tentang tanggung jawab seorang ibu kepada anaknya. Jadi, ilustrasi di atas dapat dijadikan contoh tentang kegiatan membaca yang termasuk kategori apresiasi sastra.


 

b. Kegiatan Mendengar Sastra

Kegiatan mendengar sastra itu dapat berupa mendengarkan pembacaan puisi, mendengarkan deklamasi, mendengarkan pembacaan cerpen, dan atau mendengarkan naskah lakon dibacakan. Kegiatan mendengar sastra dengan sungguh-sungguh itu perlu adanya ketajaman pikiran dan perasaan untuk menyimak karya sastra yang didengarkan. Artinya, seseorang yang melakukan apresiasi terhadap sastra itu perlu adanya konsentrasi diri untuk mendengarkan karya sastra yang didengarkan tersebut. Simaklah ilustrasi sederhana berikut ini.

Bapak atau ibu guru membacakan cerita pendek Si Kabayan Menangkap Rusa karya Achdiat K. Mihardja. Siswa menyimak pembacaan cerita pendek yang dilakukan oleh bapak atau ibu guru. Siswa-siswa dengan serius dan sungguh-sungguh mendengarkan pembacaan cerpen tersebut.


 

SI KABAYAN MENANGKAP RUSA

Achdiat K. Mihardja


 

Si Kabayan dan rnertuanya berjanji akan membikin sebuah perangkap untuk menangkap rusa.

"Pak Mertua." kata Si Kabayan. "Mari kita ke hutan. Gali perangkap di sana. Mudahmudahan ada seekor rusa yang kesasar, masuk terperosok ke dalamnya. Kita tangkap, kita sembelih, kita suruh Si Iteung dan Mzk Mertua bikin gule, opor, sate. Dan kita rame-rame makan enak."

"Ah tidak, Kabayan. Kamu saja yang gali perangkap itu. Bapak mau pasang jerat saja. Mudah-mudahan ada burung yang kesasar kena jerat."

"Baiklah, Pak Mertua," jawab Si Kabayan. "Tiada masalah. Tapi kalau saya dapat rusa, Bapak jangan harap akan dapat dagingnya."

"O, Bapak pun tiada masalah, Kabayan. Kalau Bapak dapat burung, kamu pun tak kan dapat apa-apa." Hari itu juga, sang menantu dan sang mertua sudah pada pergi ke hutan. Si Kabayan mencangkul-cangkul bikin lobang. Mertuanya berengsot-engsot naik pohon pasang jerat.

Esoknya, pagi-pagi benar, dengan diam-diam bapak mertua sudah keluar rumah masuk hutan. Dilihatnya jeratnya masih kosong. Tiada satu pun burung yang kesasar ke sana. Buru-buru dia pergi melihat perangkap menantunya. Ada seekor rusa yang kena perangkap. Buru-buru dia ikat leher binatang itu. Buru-buru pula dia gantung makhluk bertanduk itu pada jeratnya. Lalu setelah itu dia buru-buru pulang. Si Kabayan masih ngorok, tidur nyenyak, lagi mimpi dapat rusa sebesar kuda.

Dari halaman mertuanya sudah berseru-seru: "Kabayan! Kabayan! Bangun! Bangun! Mari ke hutan! Kita lihat jerat dan perangkap kita!"

Si Kabayan gisik-gisik mata. Menggeliat. Menguap. Bangun. Lalu mengikuti mertuanya masuk hutan. Sampai di tempat pemasangan jerat, mertuanya segara berteriak dengan gembiara: "Duillah, Kabayan! Lihat tuh! Lihat! Jeratku sudah berhasil. Menangkap rusa. Lihat! Badannya gemuk seperti kerbau! Rezeki datang dari langit, lewat jeratku."

Si Kabayan kaget, melihat rusa bergantung pada jerat di pohon. Geleng-geleng kepala. Tidak percaya rezeki datang dari langit seperti itu. Dia segera sadar bahwa mertuanya telah ngibulin dia.

Waktu sarapan pagi Si Kabayan absen.

"Ke mana Kang Kabayan? Ke mana suamiku?" Si Iteung gelisah. Takut. Kuatir kalau-kalau Si Kabayan jatuh terperosok ke dalam perangkap. Atau dimakan macan. "Ke mana Kang Kabayan, Bapak?" Dia tanya ayahnya. "Dia tidak sarapan pagi ini. Saya takut, dia diculik setan untuk dikirim ke tanah seberang, jadi kuli kontrak perkebunan di Deli."

Melihat anaknya menangis melolong-lolong, mertua Si Kabayan cepat-cepat menghabiskan sarapannya. Cepat-cepat ia lari masuk ke hutan. Dijelajahinya seluruh hutan, dicarinya sang menantu. Segera bertemu. Si Kabayan lagi duduk merenungrenung di tepi sungai. Segera ditegur: "Hey, Kabayan! Kenapa kamu tidak sarapan? Lagi apa kamu di sana?"

"Ini Pak! Lihat air sungai! Aneh, Pak! Aneh sekali! Lihat!" "Aneh bagaimana, Kabayan?" Mertuanya menghampiri. "Kan aneh sekali. Mengalirnya kok dari hilir ke hulu." "Hah?! Itu kan mustahil, Kabayan. Mana mungkin air mengalir dari hilir ke hulu?!" "Memang aneh, Pak. Ajaib," jawab Si Kabayan pendek. "Mana mungkin ada rusa yang bisa kena jerat di atas pohon."

Mertuanya malu. Kelemas-kelemis seperti monyet sakit gigi. Lalu bergegas ke rumah mengembalikan rusanya kepada menantunya.

Dan ketika Si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru-seru dari dapur: "Kang Kabayan, ini Bapak minta bagian dagingnya. Katanya, dia telah ikut menangkap rusa ini dengan jeratnya."

"O, kasih ayahmu tulang-talengnya saja, Iteung. Bilang kepadanya, rusa yang ini tidak bersayap. Yang bersayap sudah terbang ke bulan."

(Dikutip dengan perubahan dari Achdiat K. Mihardja. 1997. Si Kabayan Manusia Lucu. Jakarta: Grasindo, halaman 1-3)


 

Setelah bapak atau ibu guru membacakan cerpen tersebut di depan kelas, siswa-siswa memberi pendapatnya setelah mendapat pertanyaan dari bapak atau ibu guru. Tanya jawab antara guru dengan siswa tersebut sebagai berikut.

Guru    : Apa judul cerpen yang saya bacakan tadi?

Siswa     : (Salah seorang siswa dengan cepat menjawab) Si Kabayan Menangkap

     Rusa

Guru    : Sebenarnya yang menangkap rusa itu Si Kabayan atau Mertuanya?

Siswa     : (Mereka berpikir sejenak, lalu ada seorang siswa yang menjawab).

     Mertuanya.

Guru    : Mengapa begitu?

Siswa     : Si Kabayan yang mempunyai ide menangkap rusa di hutan dengan memasang perangkap. Si Kabayan pula yang mencangkul membuat lubang perangkap. Si Mertua lebin senang membuat jerat burung di pohon-pohon. Pagi-pagi si Mertua pergi ke hutan melihat hasil kerjanya. Ternyata, jerat yang dipasang kosong, tak seekor burung pun yang masuk ke dalam jeratnya. Setelah melihat perangkap milik si Kabayan ada seekor rusa, maka si Mertua segera menangkap rusa itu. Kemudian si Rusa ditali dan digantung dijeratnya. Baru kemudian memberitahu kepada si Kabayan bahwa ia telah berhasil menjerat seekor rusa.

Guru    : Mengapa akhirnya rusa itu dikembalikan kepada si Kabayan?

Siswa     : (Seorang siswa yang cerdik segera menjawab) Si Mertua itu malu atas kejujuran si Kabayan. Dengan kreatif si Kabayan menganalogikan keanehan aliran sungai yang datang dari hilir ke hulu. Padahal, biasanya sungai itu mengalir dari hulu ke hilir. Demikian pula, aneh bila seekor rusa yang tidak bersayap dapat terjerat oleh jaring-jaring di atas pohon.

Guru     : Ketika si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru dari dapur bahwa ayahnya juga minta bagian dagingnya. Sementara itu, si Kabayan menyuruh istrinya untuk memberi tulang-tulangnya saja kepada ayahnya. Mengapa si Kabayan tega melakukan itu?

Siswa     : (Beberapa siswa mendesah, tampak kebingungan. Namun, ada salah seorang siswa yang cerdik segara menjawab) Sesuai dengan perjanjian. Jika si Kabayan mendapatkan rusa, mertuanya tidak dapat daging rusa. Demikian pula, jika mertuanya mendapatkan burung hasil jeratannya, si Kabayan pun tidak akan mendapatkan daging burung tersebut. Perjanjian merupakan hukum yang harus ditegakkan.

Dari ilustrasi sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa antara Guru dan Siswa bersama-sama melakukan apresiasi terhadap sastra. Guru melontarkan pertanyaan untuk menjajaki tingkat apresiasi siswa. Siswa pun melakukan apresiasi secara baik.


 

c. Kegiatan Menonton Pertunjukan

Kegiatan menonton pertunjukan sastra termasuk kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Kegiatan menonton pertunjukan dapat berupa menonton pembacaan puisi, menonton deklamasi, menonton pembacaan cerpen, menonton pertunjukan drama, atau menonton musikalisasi puisi. Menonton pertunjukan ini tidak terbatas pada pementasan panggung saja, tetapi juga termasuk menonton lewat televisi, video, CD, dan film di bioskop. Kegiatan apresiasi sastra dari sisi pertunjukan ini mengajak apresiator menyaksikan pertunjukan dengan pandangan mata kepalanya sendiri. Setiap gerak, tutur kata, perubahan wajah, perpindahan tempat, bahkan pakaian pemain, tata panggung, dan tata lampu pun dapat diamati oleh apresiator. Memang seni pertunjukan sudah bukan karya sastra murni, melainkan melibatkan berbagai seni yang lain. Meskipun demikian, unsur sastranya masih tetap menonjol karena bahan utama yang dijadikan seni. pertunjukan adalah karya sastra, teks yang tertulis dengan menggunakan media bahasa yang kemudian dilisankan. Berikut ada sebuah puisi yang berjudul Menyesal karya Ali Hasjmy. Puisi ini dapat dideklamasikan oleh siswa sebagai seni pertunjukan. Juga puisi ini dapat dibuat musikalisasi, yaitu dipadukan dengan seni musik sebagai lagu, kemudian baru dipentaskan. Dalam melakukan apresiasi melalui pertunjukan ini prosesnya dapat menerapkan kegiatan mendengarkan karya sastra dibacakan. Memang dalam pertunjukan ini lebih diperluas dengan indera penglihatan, yakni dari sisi gerak dan sesuatu yang tampak dalam pandangan mata. Oleh karena itu, apresiasi dari jalur pertunjukan ini tidak perlu diterangkan panjang lebar, asalkan setelah diadakan pertunjukan siswa dapat dimintai komentarnya setelah mendapat pertanyaan dari guru.


 

MENYESAL


 

Pagiku hilang sudah melayang

Hari mudaku sudah pergi

Sekarang petang datang membayang

Batang usiaku sudah tinggi


 

Aku lalai di hari pagi

Beta lengah di masa muda

Kini hidup meracun hati

Miskin ilmu, miskin harta


 

Akh, apa guna kusesalkan

Menyesal tua tiada berguna

Hanya menambah luka sukma

Kepada yang muda kuharapkan

Atur barisan di hari pagi

Menuju ke arah padang bakti!

(Ali Hasjmy dalam Suyono Suyatno 2002


 

2. Kegiatan Apresiasi Tidak Langsung

Dalam kegiatan apresiasi tidak langsung merupakan kegiatan penunjang bagi kegiatan apresiasi langsung. Kegiatan apresiasi tidak langsung dilakukan di luar kegiatan apresiasi langsung. Kegiatan apresiasi tidak langsung bertujuan atau berguna untuk membantu meningkatkan kegiatan apresiasi langsung. Kegiatan yang dilakukan apresiasi tidak langsung adalah kegiatan yang berhubungan dengan karya yang diapresiasi, Bila karya yang diapresiasinva karya sastra, maka kegiatan apresiasi tidak langsungnya adalah kegiatan yang berhubungan dengan sastra. Jadi, kegiatan apresiasi tidak langsung yang dilakukan antara lain: membaca teori sastra, membaca sosiologi sastra, membaca sejarah sastra, membaca kritik sastra, dan membaca esei tentang sastra.

Kegiatan apresiasi tidak langsung sangat bermanfaat atau sangat besar peranannya terhadap kegiatan apresiasi langsung, sebab dengan luasnya pengetahuan dalam bidang sastra, seperti teori dan konsep-konsep tentang sastra akan membantu memahami karya sastra yang dibaca, disimak, atau disaksikan.

Dengan demikian, kegiatan apresiasi tidak langsung bukanlah kegiatan yang tidak penting, justru kita harus dapat melakukan kedua kegiatan ini secara seimbang, karena rnengapresiasi tanpa dibantu dengan pengetahuan tentang yang diapresiasi akan menimbulkan kesulitan. Secara lebih rinci, Kegiatan apresiasi tak langsung dijabarkan dalam tiga kegiatan pokok, yaitu :

  1. mempelajari teori sastra,
  2. mempelajari kritik dan esai sastra, dan
  3. mempelajari sejarah sastra.

Kegiatan mempelajari teori sastra termasuk apresiasi tidak langsung karena yang dipelajari adalah konsep-konsep, kriteria, batasan-batasan, fungsi, dan teori-teori penelaahan karya sastra. Mempelajari teori sastra hanya bersifat membantu memahami, menghayati, dan memberi penghargaan terhadap karya sastra. Sifatnya yang hanya memberi bantuan pemahaman terhadap karya sastra, teori sastra sebenarnya layak dipelajari oleh para mahasiswa untuk menambah wawasannya tentang sastra. Sebaliknya, siswa atau siswa di sekolah, dari dasar hingga menengah, lebih baik diberi apresiasi sastra secara langsung. Para siswa lebih baik langsung membaca karya sastra, langsung mendengar karya sastra dibacakan, dan langsung menonton pertunjukan karya sastra dipentaskan.

Saudara, mempelajari kritik dan esai sastra juga merupakan kegiatan yang hanya bersifat membantu pemahaman terhadap karya sastra. Dalam mempelajari kritik dan esai sastra mahasiswa dibawa menuju kegiatan penelahaan karangan yang membicarakan segi-segi tertentu karya sastra. Pembicaraan karya sastra dapat berupa artikel yang termuat dalam surat kabar, majalah, buku antologi esai, bahkan ada satu buku utuh yang membicarakan satu karya sastra. Mempelajari kritik dan esai sastra juga menambah wawasan dan melihat bagaimana cara orang lain memberi pertimbangan baik dan buruk terhadap karya sastra. Kritikus sastra di Indonesia yang paling terkenal adalah H.B. Jassin.

Demikian halnya dengan mempelajari sejarah sastra. Kegiatan ini juga bersifat apresiasi tidak langsung, yaitu sekadar membantu pemahaman terhadap karya sastra dari sisi perkembangan dari satu dekade ke dekade berikutnya, dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, dan dari satu aliran ke aliran lainnya. Dalam mempelajari sejarah sastra mahasiswa diajak memahami konsep-konsep dasar angkatan, sejarah aliran sastra, perkembangan jenis-jenis sastra dari berbagai segi, bahkan ciri-ciri struktur dan isi karya sastra setiap angkatan. Penulisan sejarah sastra tidak terbatas yang berbentuk buku, tetapi juga karya sastra yang dimuat dalam majalah, surat kabar, bahkan manuskrip yang hanya berbentuk naskah stensilan. Dengan mempelajari sejarah sastra calon apresiator akan dibimbing mengenal ciri-ciri, kategori, dan konsep-konsep dasar karya sastra yang diapresiasi, termasuk sistem pengarang, penerbitan, dan penyebarluasan karya sastra.


 

Pendokumentasian Karya Sastra

Usaha pendokumentasian karya sastra juga termasuk bentuk apresiasi sastra yang secara nyata ikut melestarikan keberadaan karya sastra. Bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap karya sastra dengan cara mendokumentasikan karya sastra ini dilihat dari segi fisiknya ikut memelihara karya sastra, menyediakan data bagi mereka yang membutuhkan, dan menyelamatkan karya sastra dari kepunahan. Kegiatan dokumentasi dapat meliputi pengumpulan dan penyusunan semua data karya sastra, baik yang berupa artikel-artikel atau karangan-karangan dalam surat kabar, majalah, makalah-makalah, skripsi, tesis, disertasi, maupun buku-buku sastra. Di Indonesia yang paling terkenal dokumentasi sastranya adalah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73 Jakarta Pusat.

Untuk latihan kegiatan dokumentasi bagi siswa-siswa dapat diminta membuat kliping, berupa guntingan-guntingan dari koran atau majalah, dengan topik tertentu, misalnya khusus puisi atau khusus cerita anak.


 

Kegiatan Kreatif

Kegiatan kreatif juga termasuk salah satu kegiatan apresiasi sastra. Dalam kegiatan ini dapat dilakukan adalah belajar menciptakan karya sastra, misalnya menulis puisi atau membuat cerita pendek. Hasil cipta siswa dapat dikirimkan dan dimuatkan dalam majalah dinding, buletin OSIS, majalah sekolah, surat kabar, ataupun majalah sastra seperti Horison. Selain itu, juga dapat dilakukan kegiatan rekreatif, yaitu menceritakan kembali karya sastra yang dibaca, yang didengar, atau yang ditontonnya. Kegiatan kreatif dan rekreatif jelas menunjang pemahaman dan penghargaan terhadap karya sastra, yaitu mengajak mereka yang berminat untuk bergaul dan mencintai karya sastra.


 

F. Tingkat Apresiasi

Kegiatan apresiasi yang dilakukan tidak hanya memerlukan rasa, tetapi juga rasio

dibantu dengan pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan hal ini, akan timbul tingkat-tingkat apresiasi yang dimiliki seseorang. Kegiatan memberi penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan apresiasi, walaupun relatif sifatnya. Hanya orang yang mempunyai apresiasi senilah, khususnya sastra, yang dapat memberikan apresiasinya terhadap sastra. Sebagai konsekuensinya, apresiasi seseorang terhadap sastra itu berbeda-beda tingkatannya, ada yang rendah dan ada pula yang tinggi, ada yang sempit atau dangkal, dan ada pula yang luas dan mendalam. Apresiasi seseorang terhadap sastra itu tidak mungkin langsung tinggi, luas, dan mendalam, tetapi berangsur-angsur meningkat dari taraf yang terendah, tersempit, dan terdangkal menuju ke taraf yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih mendalam. Dengan begitu tingkat apresiasi seseorang itu dapat ditingkatkan, dapat diperluas, dan dapat diperdalam sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh apresiator.

Cara meningkatkan apresiasi seseorang terhadap sastra itu dapat melalui kegiatan membaca sastra sebanyak-banyaknya, mendengarkan pembacaan sastra sebanyak mungkin, dan menonton pertunjukan sastra sebanyak-banyaknya juga. Kesediaan untuk terus-menerus membaca, mendengar, dan menonton pertunjukan sastra adalah salah satu cara dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra. Sementara itu. Yus Rusyana (1979: 2) menyatakan ada tiga tingkatan dalam apresiasi sastra, yaitu (1) seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam karya sastra, ia terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif; (2) setelah mengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan (3) seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam. Agar lebih jelas tingkat-tingkat apresiasi sastra tersebut, berikut diberi contoh satu Puisi Paria karya L.K. Ara untuk diapresiasi lebih lanjut.


 

PARIA

Banyak orang tidak menyukaiku

di lidah mereka aku terasa pahit

buahkupun bentuknya kurang menarik

permukaannya berbintil-bintil.


 

Tapi tak jarang orang sengaja mencariku

bila dimakan dengan sambel

menambah selera

dan buahku yang lucu tadi

dapat dimasak sebagai sayur

atau dijadikan sambal goreg.


 

 

bisa menghilangkan pahitku

caranya?

rebuslah aku dengan daun salam.


 

Setelah direbus

daunku berguna juga

sebagai penyembuh penyakit encok

boleh dicoba.


 

Tumbuhku tidak sukar

yang kuperlukan hanya banyak air

dan tempat teduh

jadi bisa ditanam di kebun

atau di halaman rumar.


 

Ingin tahu sobat-sobatku?

kami ada yang putih

rasanya tidak terlalu pahit

bentuknya besar

yang hijau lebih kecil dan paria ayam

kecil tapi badannya gemuk.


 

Sebaiknya tanah tempat tumbuhku

dicampur dengan abu dapur

dan setelah tumbuh

aku ingin dibuatkan para-para

bukan ingin mewah-mewah

tapi berguna untuk menjalar

sulur-sulurku.

Meski tak seberapa

aku punya keindahan juga

lihatlah bungaku yang kuning kecil

elok bukan?

daun mahkotaku ada lima

semua tersusun rapi

serupa bintang bersegi lima.


 

(Dikutip dari L.K. Ara. 1981.s. Jakarta: Balai Pustaka)


 

Bersamaan dengan membaca atau mendengar puisi Paria karya L.K. Ara tersebut seorang pembaca atau pendengar ikut terlibat di dalamnya. Ia berempati emosi, intelektual, dan imajinasinya masuk ke dalam suasana puisi tersebut. Pembaca atau pendengar itu membayangkan seolah-olah dirinyalah yang menjadi paria. Ia lebur menjadi satu dengan tokoh paria itu. Benar-benar ia mnghayati peran tokoh paria yang tulus ikhlas memberikan dirinva untuk disantap orang lain. Meskipun rasa pahit yang ada dalam diri paria terasa kental, ia mampu menjadi penyeimbang rasa manis, asin, dan asam dalam kehidupan manusia. Tahap seperti inilah yang disebut sebagai tahap pertama apresiasi, yaitu meleburkan diri ke dalam karya yang dibaca atau didengarnya.

Setelah selesai membaca atau mendengar puisi Paria karya L.K. Ara tersebut, seseorang kemudian dava intelektualnva bckerja lebih giat lagi rnenjelajahi kata-kata yang termuat dalam pcisi tersebut. Kata paria sebagai judul sajak ini ternyata artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1988: 649) bukan merupakan tanaman, melainkan Kata yang mendekati lebih cocok dengan judul sajak di atas adalah perlu, yang memiliki padanan kata pepare atau perro, yaitu tumbuhan menjalar, bunganya kecil-kecil berwarna kuning serupa dengan bunga mentimun. buahnya seperti mentimun mempunyai permukaan kulit yang tidak licin. berbintil-bintil kecil atau memanjang, agak pahit rasanya, daunnya berwarna hijau dan bentuknya bergerigi yang bermanfaat untuk menyembutkan sakit encok (KBBI, 1988: 671). Demikian seterusnya dengan mencari arti kata-kata yang lainnya dalam puisi tersebut. (penjelajahan kata-kata dalam puisi ini untuk memahami arti denotatif atau arti lugasnya terlebih dahulu). Tahap seperti inilah yang disebut sebagai tahap kedua apresiasi, yaitu memahami arti kata-kata lugasnya.

Setelah menemukan arti kata-kata lugasnya, semua kata-kata luasnya terpahami, tahap selanjutnya adalah menafsirkan makna yang ada dibalik kata-kata lugasnya. Mungkin kata itu mengandung makna kias, simbolik, metafora, ataupun makna konotatif yang lainnya. Penafsiran inilah yang kita hubungkan dengan dunia yang berada di luar sastra, yaitu memperoleh amanat yang terkandung dalam karya sastra itu bagi pembaca. Amanat inilah yang akan memberi manfaat pelajaran, ajaran moral, dan wawasan tentang perilaku kehidupan. Tahap mendapatkan amanat dan manfaat bagi kehidupan seperti inilah yang kita sebut sebagai tahap ketiga apresiasi, yaitu mampu menyadari hubungan karya sastra dengan dunia lain di luar karya sastra sehingga memperoleh hikmahnya.

Di sisi lain, Sutawijaya dan M. Rumini (1988:293) mengutip pendapat Yus Rusyana tentang tingkatan apresiasi, "Tingkatan apresiasi ada tiga, yaitu: tingkat pertama terjadi apabila seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya. Ia terlibat secara intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya itu. Tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat; dan tingkat ketiga, apabila pembaca menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan penikmatannya pun dilakukan dengan lebih luas dan mendalam ( 1988:293). Pendapat Yus Rusyana tentang tingkatan apresiasi diperjelas seperti berikut :

Apresiasi Tingkat Pertama; Pada tingkat ini, kegiatan apresiasi seseorang didominasi oleh pergulatan emosinya dengan dipandu oleh daya intelektualnya. Pada tingkat ini apresiator dapat merasakan kesenangan, kegembiraan, kesedihan, atau kemarahan, sesuai dengan aspek-aspek emosi yang terkandung dalam karya sastra yang diapresiasinya. Apresiator seolah-olah berada di dalam cerita, atau apresiator mengalami sendiri kejadian-kejadian yang ada dalam cerita itu.

Apresiasi Tingkat Kedua ; Tingkat ini, selain terjadi pergulatan emosi, terjadi pula pergulatan daya intelektual yang sama kuat, maksudnya daya intelektual yang dimiliki apresiator selain bekerja untuk memandu kreativitas emosi, juga memahami unsur-unsur cerita. Apresiator yang berada pada tingkatan ini telah dapat memanfaatkan pengetahuannya tentang sastra yang diperolehnya dari kegiatan tidak langsung. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, apresiator dapat melihat kelebihan dan kelemahan karya sastra yang dibacanya/disaksikannya melalui unsur-unsur intrinsik sastra tersebut. Dengan demikian, apresiator dapat menilai karya sastra tersebut dengan penilaian bagus, atau tidak bagus. Bila karya sastra tersebut merupakan sebuah karya yang bagus, dengan jujur apresiator akan menyatakan kekagumannya terhadap kepandaian pengarang dalam mengolah pengalamannya menjadi sebuah karya yang pantas untuk dinikmati dan dikagumi.

Apresiasi Tingkat Ketiga; Pada apresiasi tingkat ketiga ini, seorang apresiator menggunakan tiga aspek dalam melakukan kegiatan apresiasinya, yaitu: emosi, intelektual, dan pengalaman hidupnya. Dalam hal ini apresiator menghubungkan pengalaman yang terdapat dalam cerita dengan pengalaman di luar cerita karya sastra yang dibacanya. Dengan demikian apresiator dapat memberi penilaian secara tepat terhadap karya sastra yang dibacanya, dan akan memanfaatkan pengalaman yang terdapat dalam cerita, dalam kehidupannya sehari-hari. Seorang apresiator pada tingkat ini tidak hanya menilai karya sastra sebagai suatu karya yang baik, tetapi juga akan selalu mengagumi pengarangnya sebagai orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam rnengolah pengalamannya, tidak hanya dari segi bahasa, tapi juga dari segi isi melalui unsur-unsur sastra yang terkandung di dalamnya, sehingga menjadi suatu suguhan yang berkualitas.

Ahli lain (Suparman), dalam Apresiasi Sastra Prosa (Zainar Rahman, 1986:53) membagi tingkat apresiasi menjadi 5 tingkatan, yaitu : 1) tingkat penikmatan, 2) tingkat penghargaan, 3) tingkat pemahaman, 4) tingkat penghayatan, dan 5) tingkat implikasi.

Tingkat penikmatan; tindak operasionalnya menonton drama, mendengarkan lagu, menyaksikan / mendengarkan pembacaan puisi dan membaca cerita. Tingkat penghargaan; tindak operasionalnya mendengarkan/membaca baik-baik, mengambil suatu manfaat, merasakan suatu pengaruh ke dalam jiwa, dan mengagumi. Tingkat pemahaman, tindak operasionalnya: meneliti unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, menganalisis, dan menyimpulkan. Tingkat penghayatan, tindak operasionalnya: membuat analisis lanjut, mencari hakikat arti materi dengan argumentasinya, parafrase, menafsirkan, dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Tingkat implikasi, tindak operasionalnya: merasakan manfaat, melahirkan ide baru, mengamalkan penemuan, dan mendayagunakan hasil apresiasi dalam mencapai nilai material, moral, maupun spiritual untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya (1986:53).

Dari tingkatan-tingkatan apresiasi yang dikemukakan P. Suparman, di atas dapat Anda lihat urutan-urutan dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat apresiasi yang tinggi, yaitu mulai dari hanya menonton, mendengarkan atau membaca karya sastra tanpa dapat menarik manfaatnya sampai pada kegiatan apresiasi dengan menyertakan kemampuan intelektual dalam menganalisis unsur-unsur sastra dan dapat mengambil manfaat dari hasil apresiasi untuk melahirkan ide-ide baru serta kepentingan-kepentingan sosial, politik, dan budaya.


 

G. Strategi Mengapresiasi

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan di dalam mengapreaiasi karya sastra , antara lain dengan cara mendengarkan, membaca, menceritakan kembali, mengikhtisarkan cerita, menanggapi cerita, bertukar pengalaman, dan menganalisis cerita. Dari teknik yang dasebutkan di atas, Anda akan mempelajari cara mengapresiasi karya sastra prosa dengan menggunakan teknik:

  1. mendengarkan,
  2. membaca,
  3. menceritakan kembali,
  4. menanggapi cerita.


 

Mendengarkan Cerita

Teknik ini dapat Anda lakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Mendengarkan cerita melalui kaset, 2) Mendengarkan cerita yang dibacakan atau diperdengarkan orang.

1) Mendengarkan cerita melalui kaset,

Untuk teknik ini Anda harus menyiapkan dua buah alat yaitu radio tape dan kaset cerita. Pada waktu Anda mendengarkan cerita, lakukanlah dengan sungguh-sungguh, jangan mendengarkan cerita sambil melakukan hal yang lain. Jadi, tingkat mendengarkan Anda harus sampai pada tingkat rnenyimak dengan sungguh-sungguh. Sehingga, setelah Anda selesai mendengarkan cerita, Anda tidak hanya mengetahui isi cerita, tetapi juga mengetahui unsur-unsur cerita (tema, watak para tokoh, pusat pengisahannya, dan latar).


 

2) Mendengarkan cerita yang dibacakan atau diperdengarkan orang.

Teknik atau cara ini tidak jauh berbeda dengan teknik mendengarkan cerita melalui kaset, perbedaannya hanya terletak pada alat atau medianya. Pada teknik mendengarkan cerita melalui kaset, Anda tidak berhadapan langsung dengan pembaca cerita, sedangkan pada teknik ini Anda berhadapan langsung dengan pembawa/pembaca cerita. Berdasarkan itu, ada persyaratan yang harus selalu Anda ingat dan Anda patuhi yaitu: jangan sekali-sekali Anda memberi penilaian pada penampilan si pembawa cerita. Perhatian Anda harus Anda pusatkan pada cerita dan isi cerita itu sendiri. Bila secara sadar atau tidak Anda telah menilai penampilan si pembawa cerita, maka pusat perhatian Anda terhadap cerita akan terganggu

Mendengarkan cerita yang dibacakan atau diperdengarkan oleh orang lain memiliki keuntungan, yaitu Anda dapat menanyakan sesuatu pada pembawa cerita, misalnya Anda ingin menanyakan tempat terjadinya cerita (latar) yang belum Anda kenal/ketahui daerahnya; tetapi Anda juga harus ingat jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan pada waktu cerita berlangsung, karena akan mengganggu jalan cerita. Sebaikmya Anda menanyakan sesuatu setelah cerita berakhir.


 

Membaca Cerita

Mengapresiasi prosa dengan menggunakan teknik membaca cerita menggunakan bahan bacaan berupa cerita yang telah Anda pilih dengan memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan, yaitu kriteria keterbacaan dan kriteria kesesuaian. Setelah bahan bacaan tersedia, sediakan pula alat-alat tulis (buku dan pulpen) untuk mencatat unsur-unsur yang terdapat di dalam cerita selain jalannya cerita, seperti temanya apa, siapa nama tokoh-tokohnya dan bagaimana wataknya, di mana tempat kejadiannya (latar).


 

Menceritakan Kembali

Mengapresiasikan karya sastra prosa dengan menggunakan teknik menceritakan kembali harus didahului oleh teknik mendengarkan atau membaca cerita. Anda akan dapat menceritakan kembali cerita yang Anda ketahui bila Anda benar-benar telah memahami cerita tersebut. Dalam menceritakan kembali Anda juga dituntut untuk dapat mengekspresikan setiap peran para tokoh yang terdapat dalam cerita di samping Anda bertugas sebagai narator.


 

Menanggapi Cerita

Mengapresiasi karya sastra prosa dengan menggunakan teknik ini juga harus didahului oleh penggunaan teknik lain yaitu mendengarkan atau membaca cerita. Setelah Anda memahami isi cerita dan jalannya cerita, Anda akan menanggapi cerita tersebut dengan jalan menganalisis unsur-unsur cerita. Misalnya: tema cerita itu tentang petualangan, nama-nama tokohnya Slamet, Tono, Tina, masing-masing memiliki watak pemberani, cerdik, tempat kejadian (latar) di daerah pedesaan di kaki gunung, jalan cerita dapat Anda ceritakan menurut kata-kata Anda sendiri.


 


 

H. Manfaat Apresiasi Sastra

Mempelajari sesuatu hal dengan sungguh-sungguh tentu ada manfaatnya bagi kehidupan manusia. Ada sesuatu yang kita dapat darinya, berupa nilai-nilai, dan sejumlah manfaat yang lainnya. Namun apabila kita rnempelajari sesuatu hal tanpa ada manfaatnya, tentu merupakan suatu pekerjaan yang sia-sia. Setidak-tidak terdapat lima manfaat bagi kehidupan ketika mengapresiasi sastra yaitu: keindahan seni merangkai kata atau menyusun bahasa. Susunan bunyi dan kata-katanya mampu menimbulkan irama yang merdu, nikmat didengar, Manfaat estetis,

  1. Manfaat pertdidikan.
  2. Manfaat kepekaan batin atau sosial.
  3. Manfaat menambah wawasan.
  4. Manfaat pengembangan kejiwaan tau kepridadian.

Estetika artinya ilmu tentang keindahan atau filsapat yang membahas tentang keindahan yanag melekat dalam karya seni. Sementara itu kata estetis artinya indah, tentang keindahan. Atau mempunyai nilai keindahan. Manfaat estetis dalam apresiasi sastra adalah manfaat tentang keindahan yang melekat pada sastra. Ada nilai keindahan yang terpancar dalam sastra seperti contoh puisi kupinta lagi, yaitu lancar diucapkan, dan menarik untuk didendangkan manfaat estetis seperti itu mampu memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika karya itu dibaca atau didengarnya.

Mendidik artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenai akhlak, budi pekerti, dan kecerdasan pikir. Manfaat pendidikan pada apresiasi sastra adalah memberi berbagai informasi tentang proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan latihan. Melalui sastra, seperti contoh puisi Kupinta Lagi, pembaca mendapatkan ajaran tentang keimanan, budi pekerti, pendewasaan akhlak, dan moral agar selalu beriman kepada Tuhan. Cahaya iman itu ibarat matahari pagi yang memancarkan terangnya ke seluruh penjuru dunia. Mula-mula dunia ini gelap ditutup oleh kabut malam. Dengan hadirnya cahaya matahari pagi, lambat laun kegelapan itu sirna berganti terang benderang. Demikian halnya dengan keimanan manusia, kabut gelap yang menutupi keimanan itu lambat laun juga akan lenyap dengan datangnya cahaya iman yang teguh kepada Tuhan.

Peka artinya mudah terasa, mudah tersentuh, mudah bergerak, tidak lalai, dan tajam menerima atau meneruskan pengaruh dari luar. Manfaat kepekaan batin atau sosial dalam rnengapresiasi sastra adalah upaya untuk selalu mengasah batin agar mudah tersentuh oleh hal-hal yang bersifat batiniah ataupun sosial. Melalui puisi Kupinta Lagi di atas kepekaan batin manusia akan mudah menerima sentuhan iman, manusia segera sadar betapa bermanfaatnya iman yang terang, iman yang menerima pencerahan. Setelah keimanannya segar, cerah, dan teguh, kemudian manusia mengembangkan kepekaan sosialnya, yaitu dengan cinta dan hasrat. Cinta manusia mernberikan rasa kasih sayang kepada semua umat. Sementara, hasrat hidup manusia memberikan motivasi, dorongandorongan, untuk selalu berbuat baik terhadap sesama umat, menolong umat yang sengsara, dan ikut serta mengentaskan kemiskinan.

Wawasan artinya hasil mewawas, tinjauan, atau pandangan. Manfaat menambah wawasan dalam mengapresiasi sastra artinya memberi tambahan informasi, pengetahuan, pengalaman hidup, dan pandangan-pandangan tentang kehidupan. Melalui puisi Kupinta Lagi seperti contoh di atas pembaca menjadi luas pengetahuannya tentang cinta dan hasrat hidup, kembalinya iman, dan terbuka mata hatinya terhadap masalah sekelilingnya. Setelah membaca dan memahami karya sastra seperti itu pembaca tidak lagi sempit pandangannya, tetapi bertambah luas dan jauh jangkauan wawasannya. Dengan banyak membaca dan mengapresiasi karya sastra. termasuk sastra, seorang apresiator akan memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan, keluasan cara berpikir, dan banyak pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dipetik hikmahnya.

Manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian dari apresiasi sastra adalah mampu menghaluskan budi pekerti seorang apresiator. Dari banyak membaca karya sastra tentu banyak pula hal-hal tentang ajaran budi pekerti yang diperolehnya. Apabila seorang apresiator itu mau melaksankan pesan moral, ajaran budi pekerti, dan teladan-teladan kebajikan di dalam karya sastra tersebut, tentu mampu mengembangkan jiwanya dan membentuk budi pekerti yang saleh dan luhur. Seperti dicontohkan dalam puisi Kupinta Lagi karya J.E. Tatengkeng di atas, apa yang diminta oleh manusia itu bukan harta, bukan benda, bukan kekayaan, dan bukan pula kepangkatan, melainkan agar kembalinya keimanan yang pernah hilang. Jelas di sini bukan gambaran manusia yang materialistis, melainkan seorang yang religiusitas.